Mulai Senin (19/8), Jakarta kembali ke wujud aslinya. Jalan-jalan
Ibukota RI yang dua pekan belakangan cukup lengang, penuh sesak lagi
dengan kendaraan bermotor. Kemacetan parah pun kembali menjadi
pemandangan sehari-hari. Maklum, liburan lebaran anak sekolah sudah
selesai, begitu juga dengan cuti panjang para pekerja. Aktivitas Jakarta
normal lagi.
Jangan heran, komentar atau kicauan soal jalan-jalan di Jakarta yang
kembali macet bakal mewarnai lini massa jejaring sosial, seperti
Facebook dan Twitter. Padahal, sebelumnya timeline di sosial media cukup
ramai dengan komentar atau kicauan yang senang dengan kondisi Jakarta
yang abnormal. Maksudnya, Jakarta yang bebas macet. Sampai-sampai, ada
komentar yang meminta pemudik meninggalkan mobilnya di kampung halaman,
enggak usah dibawa lagi ke Jakarta.
Meski Jakarta kembali ke tampang aslinya, ada juga, lo, wajah-wajah baru
yang tampak di tanah kelahiran Pitung ini. Siapa lagi kalau bukan para
pendatang baru dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di Jakarta.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar memperkirakan,
pendatang baru yang masuk ke Jakarta pasca lebaran bisa mencapai 500.000
orang. Wow!
Tapi, wajah anyar Jakarta bukan hanya para pendatang baru. Pasca
lebaran, tampang Pasar Tanah Abang juga baru. Kesemrawutan lalu lintas
di pasar tekstil paling gede se-Asia Tenggara ini lenyap. Sebab, Jalan
K.H. Mas Mansyur, Jalan Jembatan Tinggi, Jalan Jati Bunder, dan Jalan
Jati Baru Raya sudah bersih dari pedagang kaki lima (PKL). Sebelumnya,
ratusan PKL menduduki sebagian badan jalan sehingga menjadi biang
kemacetan.
Sehabis Tanah Abang, Pemerintah Provinsi DKI di bawah komando Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) juga akan merelokasi PKL
yang mencaplok sebagian badan jalan di sekitar Pasar Gembrong dan Pasar
Jatinegara di Jakarta Timur.
Nah, yang juga bakal menjadi wajah baru Jakarta adalah nomor tunggal
gawat darurat (kepolisian, pemadam kebakaran, dan ambulans), seperti 911
di Amerika Serikat, Australia 000, Malaysia 999, dan Filipina 117. Saat
ini, Pemerintah DKI dan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya sedang
menggodok pembentukan nomor tunggal gawat darurat itu.
Konsultan asal Amerika Serikat yang biasa membangun sistem nomor tunggal
gawat negara di sejumlah negara belum lama ini juga didatangkan untuk
memberikan pelatihan.
Dan, untuk mendukung operasional nomor tunggal
gawat darurat tersebut di bidang kesehatan, Pemerintah DKI akan menambah
50 ambulans gawat darurat menjadi 100 unit.
Tapi, di Jakarta dengan tingkat kemacetan yang sangat tinggi, tak
gampang mengimplementasikan sistem kegawatdaruratan dengan response time
10 menit sampai di lokasi sejak panggilan gawat darurat masuk.
Untuk
itu, Pemerintah DKI dan Polda Metro Jaya harus menempatkan unit-unit di
lokasi-lokasi yang rawan kecelakaan, kebakaran, dan kejahatan serta
pemukiman penduduk.
Problem berat lainnya adalah pengetahuan masyarakat kita soal
kegawatdaruratan yang masih rendah. Di Amerika Serikat, misalnya, anak
umur 10 tahun sudah tahu apa yang harus dia lakukan ketika orangtuanya
tiba-tiba pingsan di rumah. Dia dengan cepat mengangkat telepon dan
menekan nomor 911.
Itu sebabnya, sejak dini, pengetahuan kegawatdaruratan sekaligus
pertolongan pertama ditanamkan pada masyarakat kita. Juga perlu
sosialisasi besar-besaran nomor tunggal gawat darurat. Kelak, nomor
tunggal gawat darurat tak mubazir jadi wajah baru Jakarta.
(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Agustus 2013)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar