Kamis, 26 September 2013

WAJAH BARU KOTA JAKARTA

Mulai Senin (19/8), Jakarta kembali ke wujud aslinya. Jalan-jalan Ibukota RI yang dua pekan belakangan cukup lengang, penuh sesak lagi dengan kendaraan bermotor. Kemacetan parah pun kembali menjadi pemandangan sehari-hari. Maklum, liburan lebaran anak sekolah sudah selesai, begitu juga dengan cuti panjang para pekerja. Aktivitas Jakarta normal lagi.
Jangan heran, komentar atau kicauan soal jalan-jalan di Jakarta yang kembali macet bakal mewarnai lini massa jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Padahal, sebelumnya timeline di sosial media cukup ramai dengan komentar atau kicauan yang senang dengan kondisi Jakarta yang abnormal. Maksudnya, Jakarta yang bebas macet. Sampai-sampai, ada komentar yang meminta pemudik meninggalkan mobilnya di kampung halaman, enggak usah dibawa lagi ke Jakarta. 
Meski Jakarta kembali ke tampang aslinya, ada juga, lo, wajah-wajah baru yang tampak di tanah kelahiran Pitung ini. Siapa lagi kalau bukan para pendatang baru dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar memperkirakan, pendatang baru yang masuk ke Jakarta pasca lebaran bisa mencapai 500.000 orang. Wow!
Tapi, wajah anyar Jakarta bukan hanya para pendatang baru. Pasca lebaran, tampang Pasar Tanah Abang juga baru. Kesemrawutan lalu lintas di pasar tekstil paling gede se-Asia Tenggara ini lenyap. Sebab, Jalan K.H. Mas Mansyur, Jalan Jembatan Tinggi, Jalan Jati Bunder, dan Jalan Jati Baru Raya sudah bersih dari pedagang kaki lima (PKL). Sebelumnya, ratusan PKL menduduki sebagian badan jalan sehingga menjadi biang kemacetan. Sehabis Tanah Abang, Pemerintah Provinsi DKI di bawah komando Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) juga akan merelokasi PKL yang mencaplok sebagian badan jalan di sekitar Pasar Gembrong dan Pasar Jatinegara di Jakarta Timur. 
Nah, yang juga bakal menjadi wajah baru Jakarta adalah nomor tunggal gawat darurat (kepolisian, pemadam kebakaran, dan ambulans), seperti 911 di Amerika Serikat, Australia 000, Malaysia 999, dan Filipina 117. Saat ini, Pemerintah DKI dan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya sedang menggodok pembentukan nomor tunggal gawat darurat itu. Konsultan asal Amerika Serikat yang biasa membangun sistem nomor tunggal gawat negara di sejumlah negara belum lama ini juga didatangkan untuk memberikan pelatihan. 
Dan, untuk mendukung operasional nomor tunggal gawat darurat tersebut di bidang kesehatan, Pemerintah DKI akan menambah 50 ambulans gawat darurat menjadi 100 unit. Tapi, di Jakarta dengan tingkat kemacetan yang sangat tinggi, tak gampang mengimplementasikan sistem kegawatdaruratan dengan response time 10 menit sampai di lokasi sejak panggilan gawat darurat masuk. 
Untuk itu, Pemerintah DKI dan Polda Metro Jaya harus menempatkan unit-unit di lokasi-lokasi yang rawan kecelakaan, kebakaran, dan kejahatan serta pemukiman penduduk. Problem berat lainnya adalah pengetahuan masyarakat kita soal kegawatdaruratan yang masih rendah. Di Amerika Serikat, misalnya, anak umur 10 tahun sudah tahu apa yang harus dia lakukan ketika orangtuanya tiba-tiba pingsan di rumah. Dia dengan cepat mengangkat telepon dan menekan nomor 911. 
Itu sebabnya, sejak dini, pengetahuan kegawatdaruratan sekaligus pertolongan pertama ditanamkan pada masyarakat kita. Juga perlu sosialisasi besar-besaran nomor tunggal gawat darurat. Kelak, nomor tunggal gawat darurat tak mubazir jadi wajah baru Jakarta.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Mingguan KONTAN Minggu Ketiga Agustus 2013)

Tidak ada komentar: