Kemarin, Toyota dan Daihatsu meluncurkan mobil murah mereka: Agya dan
Ayla. Harga jual Agya mulai Rp 99,9 juta per unit, sedang Ayla lebih
murah lagi mulai Rp 76 juta per unit. Daihatsu berjanji, dalam satu
hingga dua pekan ke depan, mobil murah mereka sudah sampai di tangan
konsumen.
Bagi masyarakat Indonesia, kehadiran Agya dan Ayla jelas kabar yang
menggembirakan. Sebab, bagi yang belum punya mobil, kesempatan mereka
untuk memiliki kendaraan roda empat makin besar. Tak heran, Daihatsu,
misalnya, mematok target penjualan Ayla sebanyak 3.000-4.000 unit per
bulan.
Alhasil, jalan raya makin sesak dengan mobil. Kemacetan lalu lintas pun
bakal kian parah.
Dan, persoalan yang lebih besar muncul: konsumsi bahan
bakar minyak (BBM) akan bertambah. Itu berarti, impor BBM juga akan
meningkat.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Rapor neraca perdagangan kita
bakal terus kebakaran alias memerah. Defisit neraca dagang Indonesia
akan kian melebar. Sebab, penyebab utama nilai ekspor negara kita selalu
keok melawan impor belakangan ini adalah, gara-gara impor sektor minyak
dan gas (migas) terutama BBM yang sangat besar.
Kondisi ini diperparah oleh nilai tukar rupiah yang terus melemah hingga
menembus angka Rp 11.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Plus, harga
minyak mentah dunia yang mulai menanjak menyusul rencana AS menyerang
Suriah.
Ujungnya, harga BBM impor semakin mahal kemudian subsidi BBM
bakal membengkak. Hitungan pemerintah, dari efek pelemahan rupiah saja,
subsidi BBM tahun bisa bertambah Rp 1,49 triliun dari target sebesar Rp
149,7 triliun.
Itu belum dari dampak kenaikan harga minyak dan kuota BBM bersubsidi
yang berpotensi jebol. Data Pertamina menunjukkan, konsumsi BBM
bersubsidi selama tujuh bulan pertama tahun sudah mencapai 25,83 juta
kiloliter (kl) atau 53,8% dari kuota yang 48 juta kl.
Tak ada jalan lain buat pemerintah selain mengurangi impor BBM.
Kebijakan pemerintah berupa kewajiban penggunaan biodiesel sebesar 10%
pada solar bersubsidi sudah tepat. Namun, untuk merangsang produsen
biodisel menambah produksinya, pemerintah mesti memberikan subsidi ke
mereka.
Cuma, lebih dari itu, pemerintah juga perlu mengambil langkah ekstrem
untuk mengurangi impor BBM: membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Caranya
adalah dengan melarang mobil pribadi menenggak premium. Berani enggak,
ya?
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 10 September 2013)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar