Senin, 05 September 2016

NYATA LAGI BERMANFAAT

Meski pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta baru berlangsung 15 Februari 2017 mendatang, konstalasi politik di Ibukota RI sudah memanas dalam beberapa bulan terakhir. Dan, situasi politik makin hot saja menjelang pendaftaran calon pasangan yang akan dibuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI pada 19 September hingga 21 September 2016 nanti.
Tambah lagi, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Rabu (17/8) lalu, mengklaim dirinya sudah mengantongi restu dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju sebagai calon gubernur di pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Sang incumbent sejauh ini sudah mendapatkan dukungan dari tiga partai politik: Partai Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Golkar, yang sejatinya cukup untuk mengantarkannya ke gelanggang Pilkada DKI. Politik pun kian gaduh di Jakarta.
Sebetulnya, Pilkada DKI adalah sebuah pesta demokrasi yang sama dengan daerah lain. Pelaksanaannya pun bakal serentak dengan 100 daerah lain, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Tapi, Jakarta ibukota negara, pusat pemerintahan. Otomatis, Pilkada DKI lebih jadi pusat perhatian publik ketimbang pemilihan kepala daerah lain. Kota berusia 489 tahun ini juga menjadi barometer kehidupan berbangsa dan bernegara. Jakarta merupakan miniatur Indonesia yang terdiri dari semua suku, agama, ras, dan golongan.
Buat partai politik, Pilkada DKI jelas sangat seksi. Sebagai miniatur negeri ini, pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI bisa jadi modal mereka bertarung dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang. Bukan tidak mungkin, jika calon yang mereka usung menang, pamor partai naik. Buntutnya, bisa memperoleh panen raya suara di Pemilu 2019.
Tapi terlepas dari konstalasi politik di Jakarta yang makin memanas jelang pilkada, DKI jadi salah satu daerah dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terbesar di Indonesia. Tahun ini saja APBD DKI mencapai Rp 67,1 triliun. Dengan uang sebanyak ini, gubernur DKI jelas bisa membiayai banyak program pro-rakyat. Ambil contoh, berobat gratis, sekolah gratis, ambulans gratis.
Bukan cuma itu, DKI juga bisa mewujudkan penyelenggaraan layanan nomor tunggal panggilan darurat. Namanya: Layanan Jakarta Siaga 112. Aturan mainnya tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 142 Tahun 2016 yang berlaku 19 Juli lalu. Layanan ini mengintegrasikan semua layanan telepon pengaduan dan pemberian informasi gawat darurat (emergency), mulai ambulans, pemadam kebakaran, polisi, SAR, PMI, hingga kebersihan bahkan pemakaman.
Dengan begitu, Layanan Jakarta Siaga 112 mempermudah masyarakat dalam mengakses dan mendapatkan layanan gawat darurat. Misalnya, permintaan ambulans gawat darurat, penanganan hewan buas atau berbisa, atau penanganan pohon tumbang. Kehadiran layanan ini sekaligus mempermudah masyarakat mengingat nomor panggilan darurat. Tidak seperti sekarang yang banyak nomor: ambulans di 118, pemadam kebakaran di 113, polisi di 112, belum lagi nomor instansi lain.
Layanan Jakarta Siaga 112 mungkin bukan program yang sekece program membebaskan Jakarta dari banjir dan kemacetan lalu lintas yang akut. Layanan Jakarta Siaga 112 mungkin juga bukan program yang laku dijual saat kampanye pilkada. Tapi, kala Jakarta bebas banjir dan macet masih sebatas janji, warga butuh program nyata lagi bermanfaat.

S.S. Kurniawan, Tajuk Tabloid KONTAN, Pekan Keempat Agustus 2016

Tidak ada komentar: