Rabu, 08 Juli 2015

MORATORIUM TKI.

Pemerintah menghentikan sementara alias moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) pada pengguna perseorangan ke negara-negara Timur Tengah (Timteng). Salah satu alasan yang dipakai pemerintah untuk menyetop "pasokan" TKI adalah, negara-negara di kawasan itu masih menerapkan sistem kafalah (sponsorship), sehingga posisi TKI lemah di mata majikannya. Dengan sistem ini pula, para pekerja kita bisa dipindahtangankan ke majikan lain sehingga rawan praktik jual beli manusia (human trafficking).
Cuma masalahnya, kebijakan moratorium tersebut diambil saat perekonomian domestik sedang kurang darah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi negara kita sepanjang triwulan satu tahun ini cuma tumbuh 4,7%. Ini merupakan angka pertumbuhan kuartalan terendah dalam lima tahun terakhir. Alhasil, lapangan kerja yang tercipta di dalam negeri makin sedikit.
Lalu, mau dialihkan ke mana para calon TKI yang berencana mengadu nasi di Timteng? Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan, jumlah TKI yang dikirim ke Timteng selama tiga bulan pertama tahun ini lebih dari 15.000 orang. Itu berarti, dalam sebulan rata-rata TKI yang berangkat ke Timteng mencapai 5.000 orang.
Jelas, angka ini tidak sedikit. Dan, enggak gampang mencarikan pekerjaan untuk puluhan ribu orang. Mereka juga pastinya menolak bekerja sebagai asisten rumahtangga di Indonesia, lantaran gajinya kecil, kalah jauh dengan di luar negeri.
Masalah bertambah, begitu TKI yang bekerja di Timteng habis kontrak dan harus pulang ke tanah air tapi mereka tidak bisa berangkat lagi ke sana. Ada lebih dari 1,6 juta TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan di Timteng. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pun bisa bertambah. Menurut BPS, TPT per Februari 2015 lalu sudah mencapai 5,81%, naik dibanding Februari 2014 yang cuma 5,7%.
Jumlah remitansi yang dikirim TKI dari Timteng pun bakal merosot. Padahal, kontribusi dari kawasan itu sekitar 30%. Tahun lalu remitansi TKI mencapai US$ 8,4 miliar atau sekitar Rp 107,15 triliun.
Jadi, sebelum moratorium, pemerintah harus lebih dulu memastikan ada banyak lapangan pekerjaan terbuka di dalam negeri. Kalau ke depan memang mau mengirim lagi, pemerintah harus benar-benar melakukan up-grading dan up-skilling calon TKI. Walhasil, negara kita tidak lagi "mengekspor" domestic worker, melainkan skill worker.

S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 13 Mei 2015

Tidak ada komentar: