Kamis, 28 Juni 2012

BIJIH MINERAL

Protes atas kebijakan Pemerintah Indonesia yang melarang ekspor bijih mineral mulai 6 Mei 2012 lalu tidak hanya datang dari dalam negeri, tapi juga luar negeri khususnya Jepang. Sebagai negara kedua terbesar pengguna nikel di dunia, Jepang tentu sangat cemas dengan aturan tersebut.

Negeri Matahari Terbit menilai, keputusan larangan ekspor barang mineral mentah termasuk bijih nikel bisa berdampak pada kinerja industri mereka. Sebab, ongkos produksi perusahaan-perusahaan di Jepang bakal membengkak.
Betapa tidak? Indonesia mengizinkan ekspor bijih mineral dengan syarat harus membayar pajak perdagangan berupa bea keluar sebesar 20%, dari sebelumnya 0% alias gratis. Itu berarti, perusahaan Jepang mesti membayar lebih tinggi untuk membeli mineral mentah termasuk bijih nikel dari Indonesia.
Jepang boleh meradang. Tapi, larangan ekspor bijih mineral berdampak sangat positif bagi industri pertambangan negara kita. Paling tidak, industri pertambangan Indonesia tak lagi mendapat cap sebagai penjual produk mentah lagi.
Soalnya, dengan melarang ekspor bijih mineral, produk-produk tambang yang negara kita jual ke luar negeri memiliki nilai tambah. Caranya adalah dengan mengolahnya lebih dulu di Tanah Air.
Makanya, pemerintah mewajibkan produsen tambang membangun pabrik pengolahan atawa smelter paling lambat tahun 2014 nanti. Mereka tidak harus seorang diri mendirikan smelter, tapi bisa berkongsi dengan perusahaan lain.
Cuma, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia kebanyakan yang senang menunda-nunda pekerjaan. Nah, untuk memaksa produsen membangun smelter dari sekarang, pemerintah pun menutup pintu ekspor. Boleh ekspor, asal membayar bea keluar 20% plus syarat-syarat lain. Misalnya, menyampaikan rencana kerja pengolahan mineral di dalam negeri. Lalu, status izin usaha tambang clear and clean.
Status izin usaha harus clear and clean sangat penting, lantaran kini banyak perusahaan tambang yang izin usahanya tumpang tindih. Dengan begitu, pemerintah bisa menyelesaikan carut marut masalah izin usaha pertambangan.
Yang tidak kalah penting, pemerintah bisa mengurangi angka potensi penerimaan pajak yang menguap. Sebab, sekarang untuk ekspor bijih mineral harus melalui proses penilaian surveyor untuk melihat kualitas dan kuantitasnya. Jadi, pemerintah bisa mendapat angka pasti ekspor produk tambang.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 14 Juni 2012)

Tidak ada komentar: