Senin, 09 Januari 2012

MORATORIUM TKI

SETELAH melalui proses yang panjang dan sangat alot, lebih dari dua tahun, pemerintah akhirnya mencabut penghentian sementara alias moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) informal ke Malaysia pada 1 Desember 2011. Sejak Juni 2009 lalu, pemerintah menutup keran pasokan penata laksana rumahtangga.
Keputusan mencabut moratorium itu lahir setelah Indonesia dan Malaysia menyepakati 11 poin baru dalam Nota Kesepahaman (MoU) tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Sektor Domestik. Misalnya, upah minimal TKI sebesar ?RM 700 atau sekitar Rp 1,92 juta. Artinya, naik dua kali lipat. Lalu, aturan libur satu hari dalam sepekan dan paspor dipegang TKI.
Tentu saja, pencabutan moratorium itu merupakan angin segar bagi masyarakat kita yang berpendidikan pas-pasan tapi ingin gaji lumayan besar. Apalagi, kesejahteraan para TKI di Malaysia bakal meningkat lantaran upah minimum sebagai penata laksana rumahtangga, seperti pembantu dan baby sitter, naik dua kali lipat. Tak hanya itu, jaminan perlindungan terhadap para pahlawan devisa juga lebih baik.
Selama ini, Malaysia memang merupakan salah satu tambang emas bagi TKI. Saban tahun, setidaknya negara kita mengirim 70.000 TKI informal ke sana. Di Malaysia sendiri saat ini ada sekitar 1,4 juta TKI belum termasuk yang ilegal.
Dengan lahirnya 11 poin baru dalam MoU Penempatan dan Perlindungan TKI tersebut, moratorium pengiriman boleh dibilang menjadi senjata pamungkas yang ampuh untuk menekan negara-negara yang menjadi tujuan TKI. Sehingga, mereka mau memberikan perlindungan yang lebih serius kepada para TKI kita. Selain tentunya memberikan upah kerja yang layak.
Tapi pertanyaannya, apakah MoU yang baru itu betul-betul menjamin kasus Siti Hajar, TKI asal Garut, Jawa Barat, tidak terulang lagi. Catatan saja, kasus Siti Hajar yang mendapat siksaan keji dari majikannya di Kuala Lumpur menjadi alasan utama pemerintah menyetop pengiriman TKI ke Malaysia.
Ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk memastikan semua isi MoU berjalan dengan baik. Karena itu, langkah yang tepat, pemerintah melakukan proses yang lebih ketat dalam perekrutan calon TKI, termasuk dalam proses pencarian majikan. Calon TKI pun juga harus menjalani 200 jam pelatihan kompetensi.
Ya, semoga saja kasus Siti Hajar tidak terulang lagi. Amin.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN, 3 Desember 2011)

Tidak ada komentar: