Selasa, 24 April 2012

MENGENANG PAK WID


Selamat Jalan Pak Widjajono Partowidagdo, terima kasih sudah memberi inspirasi dan warna pada tulisan ini

April 2006. Delapan perempuan yang tidak lagi muda usianya membetot perhatian khalayak luas. Mereka yang rata-rata sudah berusia 40-an tahun itu memulai misi mulia yang tidak gampang: menaklukkan puncak Kalla Pattar yang memiliki ketinggian 5.545 meter di atas permukaan laut (dpl). Para Srikandi yang tergabung dalam Female Trekkers ini ingin menancapkan bendera merah putih sekaligus bendera Yayasan Lupus Indonesia di salah satu puncak di Pegunungan Himalaya, Nepal itu. Karena itu, mereka menamai kegiatan itu Perempuan Indonesia Menapak Himalaya untuk Lupus. Dengan mendaki salah satu atap dunia itu, apalagi yang melakukannya adalah wanita yang tidak muda lagi, misi untuk mengampanyekan penyakit lupus lebih efektif. “Kami jadi punya nilai berita sehingga media mau meliput,” kata Diah Bisono, salah satu pendaki yang ikut mencapai Kalla Pattar dan pendiri Female Trekkers. Catatan saja, lupus merupakan penyakit inflamasi kronik akibat masalah di sistem imun tubuh. Seharusnya, sistem ini melindungi tubuh dari berbagai penyakit. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya, sistem tersebut menyerang tubuh itu sendiri. Saat ini, jumlah odapus alias orang yang menderita lupus di negara kita sekitar 40.000 orang. Pendakian kedelapan perempuan itu di Kalla Pattar juga menarik perhatian banyak pendaki dari berbagai negara. Diah bilang, tak sedikit di antara mereka yang menanyakan tentang lupus. Bahkan, ada yang memberikan bantuan dana juga. Ya, selain mengampanyekan lupus ke publik luas, Female Trekkers juga menggalang dana untuk mereka sumbangkan kepada Yayasan Lupus Indonesia. “Senang rasanya bisa berarti bagi orang lain,” ujar Diah yang kini berusia 46 tahun. Female Trekkers sendiri lahir tahun 2005. Komunitas pendaki gunung wanita dengan usia 40 tahun ke atas ini berdiri atas gagasan Diah dan empat temannya yang sama-sama gemar mendaki gunung semasa duduk di bangku kuliah dulu. Ide membentuk Female Trekkers muncul setelah Diah pulang dari pendakian ke puncak Carstensz Pyramid setinggi 4.884 meter dpl di Papua. “Saya bilang ke teman-teman, kenapa kita enggak naik gunung lagi? Karena kita masih kuat, kok,” ujar bekas anggota Mapala UI, kelompok pecinta alam Universitas Indonesia, ini. Tapi, Female Trekkers tidak ingin mendaki tanpa misi. Akhirnya, komunitas ini memilih mengusung misi kemanusiaan, yaitu untuk membantu para penderita lupus. “Kami memilih lupus karena dari segi pendanaan, mereka masih kurang. Yayasannya juga belum diakui pemerintah,” ungkap Diah. Asal tahu saja, Ayu Bisono, adik Diah merupakan penderita lupus. Gayung bersambut, kebetulan Yayasan Lupus Indonesia lagi mencari duta untuk menyosialisasikan penyakit lupus serta mengampanyekan kegiatannya. Sejak itulah, Female Trekkers resmi menjadi duta lupus. Kampanye lupus tidak hanya berhenti di puncak Kalla Pattar. Tahun 2009, Female Trekkers melanjutkan misi kemanusiaan mereka dengan mendaki Kili-manjaro di Tanzania, gunung tertinggi di benua Afrika. Dalam pendakian gunung setinggi 5.895 meter dpl itu, ada 10 pendaki Female Trekkers yang ikut, termasuk Diah. Kali ini, mereka di bawah bendera Equatorial Peaks for Lupus, pendaki puncak-puncak gunung tertinggi di garis khatulistiwa.
Tak cuma naik gunung
Masih mengusung bendera yang sama, tahun berikutnya, di 2010, Female Trekkers mendaki dua puncak gunung sekaligus: yakni Cayambe (5.790 m dpl) dan Chimborazo (6.300 m dpl) di Ekuador, Amerika Latin. Tim mereka berjumlah 12 orang. “Biaya pendakian sebagian dari kantong masing-masing, sisanya dari sponsor perorangan dan perusahaan,” kata Diah yang kini bekerja sebagai konsultan pemasaran di Saji Indonesia, perusahaan yang ia dirikan bersama sejumlah teman. Sebelum melakukan pendakian, Diah bercerita, para anggota Female Trekkers berlatih empat bulan sampai lima bulan. Tiga bulan pertama merupakan waktu pelatihan personal bagi masing-masing anggota tim. Bulan berikutnya adalah pelatihan kerjasama tim, termasuk mendaki beberapa gunung yang ada di wilayah Jawa Barat. Setelah pendakian Female Trekkers di empat puncak gunung di atas 5.000 meter dpl itu, makin banyak orang yang memperhatikan lupus. “Kalau kami enggak bikin gara-gara, orang tidak aware soal lupus,” ujar Diah yang juga adik psikologi ternama Tika Bisono. Tapi, kegiatan kampanye lupus Female Trekkers tidak cuma mendaki saja. Mereka juga kerap datang ke kampus-kampus untuk mensosialisasikan penyakit tersebut. Sekarang, sekitar 40 wanita dari berbagai latar telah bergabung di Female Trekkers. Ada yang bekerja sebagai perencana keuangan, konsultan peralatan outdoor, akuntan, pengusaha, dan ibu rumahtangga. Tak semua anggota itu mengikuti pendakian ke gunung-gunung di luar negeri. Mayoritas dari mereka hanya bergabung dalam pendakian gunung di Indonesia bersama tim yang latihan. Yang menarik, tidak semua anggota Female Trekkers wanita. Ada satu lelaki yang bergabung, yakni Widjajono Partowidagdo. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini ikut serta dalam pendakian ke Kalla Pattar dan Kilimanjaro. Widjajono mengaku lebih nyaman mendaki gunung bersama perempuan ketimbang laki-laki. Alasannya, jika mendaki bersama pria, ia akan tertinggal terus dalam perjalanan lantaran usianya sudah tua. “Wanita juga perhatian. Misalnya soal makan,” ujarnya. Widjajono mengaku sudah hobi mendaki gunung sejak di bangku SMA. Komunitas pendaki lain yang juga punya anggota dari berbagai macam latar adalah Pendaki Gunung. Komunitas ini didirikan oleh Bernard Wahyu Wir-yanta dan Bucek pada 2000. “Setiap kali mendaki gunung, bertemu orang lalu ngobrol. Mereka kami ajak bergabung di komunitas kami,” ujar Bernard yang menjadi jurnalis lepas untuk beberapa media.
Konservasi alam 
Pendaki Gunung kemudian mulai berkembang dan melebarkan sayap ke kalangan pekerja profesional. Bernard berkisah, banyak orang yang membayangkan mendaki gunung sebagai kegiatan yang susah dan berat. Ia ingin menghapus gambaran tersebut. Bernard lalu mulai mengajak beberapa teman kalangan pekerja untuk mendaki gunung. Biar tak merasa susah, Bernard rela mempersiapkan perlengkapan dan makanan untuk mereka. “Mereka cuma perlu bawa badan,” tutur pemilik perusahaan studio gambar dan animasi Tantular Pictures ini. Usaha itu ternyata membuahkan hasil. Mereka yang ikut mendaki bersama Bernard mengaku senang dan akhirnya bergabung bersama Pendaki Gunung. Dari mulut ke mulut, banyak kalangan pekerja profesional bergabung dalam komunitas ini. Kini, anggota aktifnya sekitar 50 orang. “Ada direksi dan eksekutif yang bergabung di sini,” beber Bernard. Novan Firmansyah, misalnya. Pemilik perusahaan perdagangan mata uang asing (forex) di Jakarta ini bergabung dengan Pendaki Gunung sejak tahun 2004 lalu. Ia mengaku bisa menyalurkan hobi jalan-jalan melalui komunitas tersebut. Memang, Novan tak selalu bisa mengikuti setiap kegiatan Pendaki Gunung. Maklum, ia juga punya kesibukan di kantornya. Namun, paling tidak, ia ikut kegiatan komunitas tersebut setahun dua kali. “Untuk refreshing dan melepas penat dari rutinitas,” jelasnya. Tidak hanya mendaki, komunitas ini juga mengadakan pelatihan bagi anggota, baik itu latihan survival ataupun latihan navigasi. Meski berasal dari kalangan pekerja profesional, mereka antusias mengikuti latihan-latihan tersebut. Kegiatan pendakian gunung sendiri dilakukan hampir tiap bulan. Tetapi, tentu tak semua anggota bisa ikut karena sibuk bekerja. Kadang, hanya dua orang saja yang melakukan pendakian, tapi kadang bisa puluhan anggota. “Agenda kegiatan selalu diberitahukan jauh-jauh hari,” ujar Bernard. Berbagai gunung di Indonesia telah dijelajahi oleh komunitas ini. Demikian pula dengan gunung-gunung terkenal di luar negeri, seperti Kilimanjaro dan Kinabalu, Malaysia. Sebagai sarana koordinasi antaranggota, komunitas ini kemudian mendirikan portal di dunia maya dengan nama pendakigunung.org. Situs tersebut merupakan forum komunikasi di antara anggota yang tersebar di berbagai daerah. Selain pendakian, Pendaki Gunung juga melakukan kegiatan konservasi alam. Sejak lima tahun lalu, komunitas ini rutin melakukan konservasi tanaman kantong semar di kawasan Gunung Prau, Jawa Tengah. “Kami juga mengajak partisipasi masyarakat setempat untuk menjaga tanaman itu supaya tidak punah,” kata Bernard. Selain kegiatan, Pendaki Gunung juga mengadakan aksi menanam mangrove di Kepulauan Seribu. Mereka mengajak pula masyarakat sekitar dan anak-anak dalam kegiatan tersebut.

(S.S. Kurniawan, Herry Prasetyo, Hans H.B., Mingguan KONTAN edisi Minggu Ketiga November 2011)

Tidak ada komentar: