Selasa, 24 April 2012

JANGAN CUMA DEMO

Aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berkobar di mana-mana. Pemerintah pusat bilang: silakan saja, asal tidak anarkis. Tetapi, pemerintah pusat mewanti-wanti agar kepala daerah tidak ikutan turun ke jalan menentang rencana harga premium dan solar yang naik 33,3%.
Tak main-main, pemerintah pusat mengancam, gubernur, bupati, wali kota, dan para wakilnya yang ikut berdemo bisa diberhentikan. Soalnya, mereka sudah melanggar sumpah jabatan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sumpah jabatan kepala daerah antara lain patuh pada peraturan dan perundang-undangan. Kelak, aturan main kenaikan harga BBM bersubsidi tertuang dalam undang-undang dan keputusan presiden.
Ya, penolakan kepala daerah terhadap rencana pemerintah pusat mengerek harga bensin, memang semestinya jangan mereka tunjukkan dengan berunjuk rasa. Sebab, justru kesan yang tampak, mereka bak pahlawan kesiangan yang sekadar mencari popularitas di mata rakyatnya. Biar dianggap pro-rakyat. Tidak lebih dari itu.
Aksi para kepala daerah itu kemungkinan besar juga tidak bakal mengubah apa-apa. Harga BBM bersubsidi tetap saja naik.
Nah, kalau para kepala daerah tetap ingin menolak kenaikan harga BBM bersubsidi, ada wujud nyata lain tanpa harus ikutan demo. Dan, dijamin pro-rakyat, deh. Yakni, tidak memungut pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) terutama premium dan solar. Info saja, harga jual BBM saat ini sudah termasuk PBBKB sebesar 5%.
Memang, harga BBM bersubsidi tetap naik sekalipun pemerintah daerah tidak mengenakan PBBKB alias tarif pajaknya 0%. Hitung-hitungannya begini. Jadi, kalau harga premium dan solar nantinya menjadi Rp 6.500 per liter. Maka, PBBKB-nya sebesar Rp 282,6 seliter. Ya, anggap saja Rp 250. Itu berarti, harga jual BBM bersubsidi hanya Rp 6.250 per liter saja.
Meski tidak besar, pengurangan harga itu cukup berarti buat masyarakat. Pertanyaannya: apakah kepala daerah berani membebaskan PBBKB? Kalau mereka betul-betul menolak kenaikan harga BBM, ya, harus berani! Terutama daerah-daerah yang kaya minyak. Soalnya, mereka mendapat dana bagi hasil minyak dan gas bumi lebih besar lagi, menyusul kenaikan harga minyak mentah dunia.
Jadi, bentuk penolakan kepala daerah harus lebih nyata lagi.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian, 28 Maret 2012) 

Tidak ada komentar: