Minggu, 24 Februari 2013

RUMAHSAKIT

Penolakan 10 rumahsakit terhadap Dera Nur Anggraini, bayi yang baru berusia empat hari dan akhirnya meninggal dunia akhir pekan lalu, kembali membuka tabir wajah rumahsakit kita yang sebenarnya. Alasannya klise: kamar penuh. Ya, dua kata ini, kamar penuh, kerap menjadi senjata rumahsakit untuk menolak pasien.
Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta pun kembali kebakaran jenggot. Kembali? Betul. Sebab, kejadian rumahsakit menolak pasien di ibukota negara kita yang membetot perhatian khalayak ramai, kan, bukan sekali dua kali. Tapi, sudah berkali-kali terjadi. Itu yang terungkap ke publik, lo. Yang tidak terungkap, jumlahnya lebih banyak lagi.
Hanya, pascakejadian tragis yang menimpa Dera, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan DKI mengambil tindakan. Mereka berencana membuat sistem online dengan mengoneksikan semua rumahsakit yang memiliki ruang neonatal intensive care unit (NICU). Sehingga, pasien atau keluar pasien tidak perlu menyambangi satu per satu rumahsakit. Dengan sistem online ini bisa ketahuan, mana saja rumahsakit yang ruang NICU kosong.
Kemudian, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan DKI akan menambah ruang NICU dalam waktu dekat. Dan sebetulnya, mereka sudah menyadari jauh-jauh hari, bahwa ruang NICU di Jakarta kurang. Tapi sayangnya, mereka baru akan menambah fasilitas tersebut setelah jatuh korban jiwa.
Cuma, pekerjaan rumah pemerintah pusat dan daerah tidak berhenti sampai di situ. Soalnya, yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana agar tidak ada lagi penolakan dari unit gawat darurat (UGD) rumahsakit terhadap pasien dalam kondisi parah dan membutuhkan pertolongan segera. Alasan penolakannya sering tidak jelas.
Yang lebih gila lagi, belum lama ini, istri saya yang bekerja sebagai paramedis ambulans bercerita, dokter jaga di UGD sebuah rumahsakit di Jakarta Timur sampai memerintahkan saptam rumahsakit untuk menjaga ambulans tempat istri saya bekerja, supaya tidak menurunkan pasien. Padahal, pasien yang mengalami serangan jantung itu sangat membutuhkan pertolongan.
Undang-Undang Kesehatan menyatakan, tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien, diancam pidana paling lama dua tahun dan denda Rp 200 juta. Tapi, beleid ini tidak membuat takut para tenaga kesehatan, rupanya.
Potret buram rumahsakit kita.
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 22 Februari 2013)

IMPOR HORTIKULTURA

Kebijakan pemerintah memperketat masuknya produk-produk hortikultura dari luar negeri mulai 19 Juni 2012 lalu terbilang berhasil. Sepanjang 2012, Badan Karantina Kementerian Pertanian mencatat, volume impor hortikultura hanya 1,62 juta ton. Angka ini menyusut sebesar 22,12% dibandingkan dengan impor 2011 yang mencapai 2,08 juta ton. Penurunan impor hortikultura paling tajam adalah produk buah. Impor buah-buahan merosot hingga 30,35%.
Tak berhenti sampai di situ, mulai awal 2013, ruang gerak impor hortikultura semakin terbatas. Sebab, pemerintah juga menetapkan kuota impor hortikultura. Ada 20 jenis hortikultura yang dibatasi volume ekspornya, misalnya, jeruk.
Ya, pemerintah memang harus melakukan intervensi. Kalau tidak, harga buah lokal menjadi menurun. Soalnya, sudah barang tentu, pembeli lebih memilih belanja buah-buahan impor yang penampilan lebih ciamik dan rasanya oke punya dari buah nusantara. Bahkan, harga buah impor juga lebih murah.
Nah, jika harga buah lokal turun akibat peminatnya berkurang, akhirnya petani malas panen, kebun menjadi tidak terawat. Alhasil, areal pertanian akan terserang penyakit karena tidak dirawat.
Cuma, kebijakan memperketat sekaligus membatasi volume impor harus pemerintah barengi dengan upaya untuk memperbaiki kualitas, kuantitas, produktivitas, dan kontinuitas produk hortikultura di dalam negeri. Sehingga, pembeli bisa jatuh cinta lagi kepada buah-buahan lokal. Petani pun kembali bergairah.
Dan ujungnya, ruang buah-buahan impor semakin sempit. Memang, kebijakan memperketat dan membatasi volume impor hortikultura menyulut protes dari negara-negara produsen buah-buahan dan sayur mayur. Walhasil, empat negara: Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan Kanada mengadukan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tapi sebetulnya, mereka tidak fair. Pasalnya, negara lain juga selalu ketat saat kita mau memasukkan produk hortikultura ke negara mereka. Ambil contoh, kalau negara kita ingin memasukkan produk ke Jepang, mereka akan meneliti, apakah ada lalat buah atau tidak, ada organisme pengganggu tanaman karantina atau tidak, lalu kandungan metil bromida, macam-macam pestisida, serta logam berat.
Karena itu, lagi-lagi, langkah yang tepat, pemerintah membuat level treatment antara negara kita dengan negara lain setara. Kenapa? Karena kita juga negara yang berdaulat.
 
(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 5 Februari 2013)

HARUS LEBIH REALISTIS

Masih "pagi". Tahun 2013 baru berjalan 15 hari, tapi pemerintah belum-belum sudah berencana merevisi sejumlah asumsi makroekonomi yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013. Terutama inflasi, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan lifting minyak mentah.
Dalam paparannya saat rapat kerja dengan Komisi Keuangan (XI) DPR, Senin (14/1) lalu, Pemerintah memproyeksikan, semua asumsi makro di APBN 2013 bisa meleset dari target. Contoh, inflasi yang semula dipatok sebesar 4,9%, tahun ini bisa berada di kisaran 4,9% hingga 5,3%. Nilai tukar rupiah yang ditetapkan Rp 9.300 per dollar AS bisa melemah ke Rp 9.700 per dollar AS.
Lucunya, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro berdalih asumsi di APBN 2013 pemerintah buat pada Mei 2012. "Tahun ini, kondisi memang sudah membaik, tapi tak sebagus saat kami membuat perkiraan APBN 2013," kilahnya.
Semestinya, pemerintah tidak menjadikan dalih itu sebagai alasan. Sebab, ada ruang buat pemerintah untuk mengubah asumsi makro yang mereka usulkan saat membahas Rancangan APBN (RAPBN) 2013 dengan DPR. Apalagi, penggodokan RAPBN 2013 di Senayan--tempat para wakil rakyat berkantor--bergulir mulai September 2012.
Itu berarti, ketika itu, pemerintah mengantongi data-data terbaru yang bisa mempengaruhi asumsi makro negara kita sepanjang 2013. Buktinya, misal, Nota Keuangan dan APBN 2013 menyebutkan, ke depan, tekanan terhadap pergerakan nilai tukar mata uang garuda salah satunya akan bersumber dari semakin menurunnya surplus neraca perdagangan Indonesia.
Dan, ketika pembahasan asumsi makro RAPBN 2013 berlangsung, fakta menunjukkan, neraca perdagangan bulanan kita sudah mencetak defisit tiga kali berturut-turut selama paro pertama tahun lalu: April hingga Juni. Ini merupakan catatan terburuk sepanjang sejarah ekspor impor Indonesia. Saat itu, BPS dan Kementerian Perdagangan juga memperkirakan, defisit akan berlanjut hingga akhir 2013.
Artinya, kondisi yang tidak jauh berbeda akan berulang di tahun ini. Jadi seharusnya, pemerintah sudah melakukan antisipasi dengan tidak mempertahankan usulan asumsi makro yang ada di RAPBN 2013. Sehingga, pemerintah lebih realistis dalam menyusun anggaran. Jangan mentang-mentang ada opsi untuk merevisi APBN, lalu pasang target yang muluk-muluk.

(S.S. Kurniawan, Tajuk Harian KONTAN Edisi 16 Januari 2013)